Pemberdayaan dan Proses Penyadaran
Opini Palito Piaman-Program
pemberdayaan masyarakat mandiri perdesaan (PNPM-MPd) hadir di tengah stigma
negative masyarakat akan pembangunannya. Berpuluh tahun masyarakat tidak pernah
di ikutkan serta di libatkan dalam proses pembangunan Korong/Nagarinya,
sehingga lambat laun menggumpal kesadaran bahwa yang memiliki uang adalah Wali
Korong,Wali Nagari, Camat, Bupati hingga Presiden. Rakyat merasa tidak punya
hak apa-apa untuk ikut berpartisipasi. Karena toh berpartisipasi saja juga
belum tentu ada hasilnya yang nyata, yang dapat di rasakan langsung oleh
mereka. Seringkalinya yang mereka dapatkan adalah semacam hadiah, gula-gula
permen asam manis pembangunan, yang kadangkala kurang sesuai dengan apa yang
mereka butuhkan. Dan hasilnya masih terdapat kegiatan proyek pembangunan yang
mangkrak dan tidak dapat digunakan secara optimal.
Masyrakat
juga masih terkesan menganggap segala program yang hadir di korong/nagari
mereka adalah bantuan pemerintah. Proyek. Bukan atas dasar kesadaran bahwa itu
hak mereka sebagai warga negara untuk juga ikut menikmati pembangunan yang adil
dan merata. Yang dapat meningkatkan harkat dan kesejahteraan bersama. Imunitas
cultural ini sungguh sangat mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Dengan
kosmologi pemikiran seperti itu, maka mayoritas masyarakat menjadi apatis dan
cuek terhadap pembangunan. Mereka kadangkala tidak mau perduli, acuh, cuek
dengan segala proses pembangunan di korong/nagarinya. Karena menurut mereka
memang membangun itu tugasnya pemerintah.
Dengan
adanya PNPM-MPd, masyarakat yang selama ini menjadi objek pembangunan, di beri
peluang untuk beralih haluan menjadi subjek pembangunan itu sendiri. Dengan
diberikannya kewenangan dan otonomi serta di dukung oleh demokrasi dalam
musyawarah mufakat.
Masyarakat
menyambut gegap gempita dengan tepuk tangan bersorak-sorai, ketika mendapatkan
alokasi dana. Mereka tentunya bergembira karena ingin ikut berpartisipasi dalam
proses pembangunan korong/nagarinya. Namun disamping niat baik itu ternyata
kadangkala (meskipun tidak semuanya) juga masih disisipi motivasi mendapatkan
proyek yang outputnya adalah mengorbankan asas manfaat dari kegiatan tersebut.
Seringkali
terdengar celotehan, “Ah ini kan uang negara, tidak ada yang di rugikan”. Toh
yang menikmati juga masyarakat kita sendiri.” Kata mereka. Dan masyarakat tidak
sepenuhnya di persalahkan memiliki naluri seperti itu. Mereka setiap hari
selama berpuluh-puluh tahun di ajari oleh sistem yang membuat mereka mau tidak
mau berfikir dan bertindak seperti itu.
Maka
ketika kran otonomi daerah di buka, ketika regulasi berubah dari sistem
perencanaan top down menjadi sistem bottom up, ketika segala aspek perencanaan
pembangunan harus melalui musyawarah mufakat, ketika pelaksanaan kegiatan tidak
lagi di dominasi oleh kalangan birokrasi tertentu, ketika masyarakat menjadi
garda depan penggiat pembangunannya sendiri terjadilah benturan-benturan di
berbagai tingkat horisontal maupun vertikal. Kepentingan politis bertarung
dengan kepentingan teknokratis. Kepentingan teknokratis bergulat dengan
perencanaan partisipatif. Ini menyalahkan itu, utara menyalahkan selatan.
Sampai wajah pemberdayaan kabur hilang terselip di antara pertarungan.
Proyek
pemberdayaan yang secara teknis di mandatkan untuk di kelola masyarakat menjadi
bahan bancakan di kalangan pelaku masyarakat sendiri. Kasus penyimpangan dari
Biograsi yang meminta jatah dana dari proyek, kisah tentang Tim Pelaksana yang
menggelapkan dan memanipulasi material proyek, cerita tentang koordinator
ekonomi Korong/Nagari yang memakai uang angsuran simpan pinjam kelompok untuk
dirinya sendiri, Unit Pengelola Kegiatan yang , Fasilitator yang membawa kabur
uang BLM, dan masih banyak lagi kejadian-kejadiannya yang memperlihatkan bahwa
proses pelemahan pemberdayaan itu terkadang muncul dari dalam pelaku itu
sendiri.
Oknum
pelaku pemberdayaan itu sendiri yang semakin pandai, mampu memanfaatkan celah
kelemahan dengan mencari pembenaran sendiri dengan mengatas namakan
pemberdayaan dan demokrasi. Saya meng-igah-iguhkan (baca mensiasati) dana itu
tidak masalah, yang penting tidak sendirian karena di ketahui dan di setujui
oleh yang lain. Meskipun dalam melegitimasi keputusan itu menumpang di atas
nama demokrasi dan forum rapat. Maka itu sah dan tidak di ganggu gugat.
Maka
rakyat yang kepentingannya mestinya di wakili oleh bagian dari mereka sendiri,
yang telah mereka pilih melalui forum demokrasi, yang mereka harapkan dapat
menjadi ujung tombak kemandirian korong/Nagari mereka, ternyata juga tidak
ubahnya berperilaku seperti oknum pembangunan yang terlebih dulu ada. Yang
mengkhianati amanat mereka.
Meskipun
data menunjukkan bahwa hanya terdapat 0,2 % kasus penyimpangan dari total dana
alokasi seluruh Indonesia, namun benih-benih penyelewangan sudah terlihat dari
berbagai titik. Dan sudah harus kita respons dengan langkah-langkah yang
strategis tanpa melemahkan proses pemberdayaan itu sendiri.
Kita
sendiri telah menyetujui bahwa inti dari ruh pemberdayaan adalah tentang proses
penyadaran masyarakat. Penyadaran tentang esensi hak atas pembangunan, hak
social ekonomi budaya yang di mandatkan dan tercantum dalam UUD alinea ke-4.
Kasus-kasus penyimpangan yang terjadi tidak harus menggagalkan hasil yang telah
di capai dari PNPM-MPd. Kasus ini, hanya menjadi bagian kecil dari langkah kita
bersama untuk membenahi diri, sistem manajemen dan regulasi untuk dapat menjaga
niat baik dalam membantu saudara-saudara kita yang kurang beruntung.(By Erik E)