Media Informasi Pemberdayaan

Senin, 26 September 2016

HIKMAH DARI KETIDAK TAHUAN

Sudahkah anda mengenali ketidaktahuan diri sendiri? Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mempunyai kesadaran tinggi untuk mengenal akan diri dan lingkungan. Hal ini dikarenakan, manusia merupakan makhluk Tuhan yang dikarunia sebuah anugerah rasa yang besar, yaitu rasa cinta. Kehadiran rasa ini disertai dengan sebuah kesadaran bahwa manusia pada awalnya merupakan makhluk yang tidak tahu. Rasulullah bersabda bahwa bayi ketika lahir ke dunia dalam keadaan putih bersih seperti kertas, bayi tersebut mau ditulisi dengan apa saja tergantung pada orang tua. Dari dasar seperti inilah maka yang ada pada manusia pada dasarnya adalah ketidaktahuan.

Pembaca yang budiman….!
Pada kaitan ini, penulis mengajak pada pembaca bahwa dalam mengenal dan mengembangkan segala sesuatu, seyogyanya kita mendasarkan pada rasa cinta bukan pada kesadaran sejati. Hal ini setidaknya didasarkan pada alasan bahwa cinta bersumber pada kelembutan hati untuk memberikan rasa, dan kesadaran bersumber pada logika empiris aktualistis. Karena landasan inilah, maka manusia akan selalu merasa dan berada dalam ketidaktahuan. 

Dalam menjalani kehidupan ini, mungkin diantara kita belum memahami makna akan “ketidaktahuan”. Maaf….! Ketidaktahuan yang dimaksud disini bukan berarti kebodohan. Berbeda sekali. “Ketidaktahuan” berawal dari rasa penasaran dan keingintahuan kita terhadap sesuatu. Rasa penasaran yang selama ini kita pendam dan terkunci dengan tanda tanya besar. Perjalanan waktu dan persoalan hidup, tanpa sadar membuat kita melupakan rasa penasaran itu, namun ternyata waktu pula yang membangkitkan arwah penasaran itu dari “liang kubur”.

Pembaca yang budiman…!
Kita sebagai makhluk yang tidak tahu, sulit untuk memisahkan makna ketidaktahuan itu sendiri. Kadang kita menyatakan sesuatu yang kita tidak tahu dengan pernyataan-pernyataan yang seolah-olah kita tahu. Begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya yang muncul adalah sifat dari dalam diri yang tidak bersumber pada hati nurani sehingga muncul sifat-sifat yang merupakan manifestasi dari ketidaktahuan kita dalam wujud tindakan.

Hal ini setidaknya menyadarkan penulis pada pelajaran yang pernah penulis alami, bahwa ketidaktahuan manusia seperti batas antara terang dan gelap, layaknya tirai yang bergoyang dihembus angin. Penulis tidak tahu ada apa dibalik tirai. Tidak tahu juga apa yang terjadi jika kita menyibak tirai ketidaktahuan itu. Untuk membuka itu, kita harus jujur dengan diri sendiri sebab kita tidak berhak menyembunyikan segala sesuatu yang ada dalam diri kita.

Tidak semua pertanyaan atas ketidaktahuan tersebut harus dijawab, biarlah menjadi sebuah “tanda tanya” begitu adanya, biarkan waktu yang menjawab. Tanda tanya itu biarlah seperti misteri kehidupan itu sendiri. Bahkan kata teman saya “buat apa menghapus tanda tanya yang akan membuat permasalahan baru?” Namun, sayang sekali, kesadaran penulis akan ketidaktahuan ini bukan seperti kesadaran Nabi Musa ketika di Bukit Tursina. Jauh, sangat jauh dari itu. Ketidaktahuan Nabi Musa saat itu, karena beliau penasaran ingin melihat Allah, tapi ketidaktahuan penulis hanya karena ingin mengetahui kemauan dari sesama manusia. Oleh karena itu, maafkan aku Ya Allah atas kesalahanku yang demikian bertumpuk.

Pembaca yang budiman….!
Ketidaktahuan tersebut menyebabkan kita sulit untuk menyadari dan memaknai akan kehidupan ini. Apabila kita tidak memiliki rasa kesadaran yang tinggi, maka sulit bagi kita untuk membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang jelek dan mana yang baik, dan masih banyak hal-hal yang membutuhkan pembedaan. Kesulitan yang kita alami dikarenakan kita mengemukakan segala sesuatu tidak mendasarkan dengan penuh kesadaran, tapi masih dibayang-bayangi pernyataan-pernyataan yang berasal dari ego. Kita menyatakan seolah-olah dari dasar hati yang paling dalam meski tidak tahu seberapa dalam hati nurani yang kita kemukakan.

Kita akan memiliki kebijaksanaan yang hebat manakala dalam menjalani hidup ini, kita mampu membedakan mana yang buruk dan baik, yang asli dan palsu, yang benar dan salah, yang jujur dan bohong, dan sejenisnya. Paradox ketidakpastian antara dua sisi dalam hidup ini memberikan pelajaran berharga yang akan kita peroleh dari orang-orang yang berada disekitar kita. Karenanya, pemaknaan terhadap kehidupan ini atas diri sendiri tidak usah disembunyikan. Belajar untuk membuka diri merupakan suatu tindakan yang mulia sebelum membuka diri terhadap orang lain. Dengan demikian, yang asli tidak usah dipalsukan dan yang palsu tidak usah diaslikan, yang salah tidak usah dibenarkan dan yang benar tidak usah disalahkan, yang suka tidak usah dibencikan dan yang benci tidak usah disukakan, dan lain sebagainya.

Pembaca yang budiman….!
Sejauh yang penulis pahami, untuk mendapatkan kebijaksanaan tersebut maka kita harus melakukan penyelidikan batin. Pada waktu itu (pelaksanaan penyelidikan batin), kita harus memisahkan diri dari perasaan dan pikiran. Hal ini karena rasa cemas, gelisah, takut, sedih, derita, bahagia, semua ketakutan dan kelemahan ini berhubungan dengan pikiran dan perasaan. Pikiran yang tidak murni dan kekeliruan kita dalam menyikapi segala sesuatu, akan menyebabkan kelemahan hati sehingga batin kita akan mengalami kekaburan dan tenggelam dalam duka dan penderitaan.

Saat dimana dua entitas waktu yang berbeda dihubungkan, seperti antara gembira dan sedih, antara siang dan malam, antara berkumpul dan berpisah, antara suka dan benci, antara bahagia dan duka, dan saat-saat lain, biasanya hal itu akan berlangsung tidak lama. Dan, sudah tentu kita menginginkan kebahagiaan, bukan kesedihan. Untuk mencapai ini, maka jalan yang tepat adalah jalan kebijaksanaan. Sebuah jalan yang akan menolong kita agar tetap berada dalam kebahagiaan abadi. Oleh karena semua harmoni kehidupan ini berada dan sedang berjalan pada "rel"nya, maka kita sebagai manusia yang menyadari akan keberadaan diri, hanya bisa mempelajari, memahami dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang sedang mengiringi langkah hidup.

Pembaca yang budiman….!
Satu pelajaran yang penulis bisa ambil dari semua peristiwa yang mengoyak keyakinan akan masa depan untuk menjadi lebih baik adalah sebuah kesadaran bahwa kesabaran akan memberikan hasil yang maksimal. Sabar dalam memberi kesempatan untuk menjalankan tugas dan wewenang terhadap sesama merupakan sebuah upaya menuju kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Kesabaran kita saat diguncang bom waktu kehidupan dapat diambil menjadi sebuah hiasan hidup ditengah amuk amarah meski sisi kehidupan kita terus bergejolak. Sebuah sikap kedewasaan untuk tetap bertahan, dan tidak tersulut emosi harus mampu kita tunjukkan dalam rangka menata kembali tatanan puing-puing kehidupan diatas kesabaran dan asa yang tidak mudah retas akan bencana.

Kebangkitan tersebut akan ditandai dengan peningkatan kemampuan berpikir yang terwujud dalam sikap dan tindakan kita. Kemampuan tersebut akan dipengaruhi oleh kemampuan dan taraf berpikir kita yang tampak pada pandangan dan pilihan solusi manakala menghadapi kesulitan. Indikasi yang bisa dilihat adalah kita mampu menyelesaikan tiap permasalahan baik yang menyangkut pribadi maupun lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, Islam sebagai sebuah pandangan hidup dan sekaligus cara berpikir yang khas, telah memberikan jalan atau solusi untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada. Tiap manusia memiliki persoalan hidup dengan berbagai macam konsekuensinya. Namun, sebagai seorang muslim, solusi dari tiap persoalan hidup selayaknya dikembalikan pada “guider” muslim, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pertanyaannya sekarang adalah sudahkan kita bersikap yang demikian? Wallahu'alam.

Semoga bermanfaat….! Amiin….!