Media Informasi Pemberdayaan

Sabtu, 10 Januari 2015

UU DESA, REFLEKSI PENDAMPINGAN DAN REKOMENDASI IPPMI

UU DESA, REFLEKSI PENDAMPINGAN DAN REKOMENDASI IPPMI
Oleh : IPPMI DPC Padang Pariaman
======================================================================
UU No 6 Tahun 2014 yang lahir di awal tahun 2014 telah mengundang perhatian semua pihak, yang menjadi sangat menarik adalah berberda dengan lahirnya UU lain sosialisasi UU Desa banyak di cetus atas prakarsa rakyat ketimbang oleh pemerintah, Kelahiran UU Desa disambut dengan perayaan rakyat desa dimana-mana dan tidak kalah menariknya kajian-kajian sebelum UU Desa di tetapkan selama kurun waktu 2012-2013 banyak di lakukan oleh berbagai Lembaga baik LSM, Asosiasi-asosiasi Penggiat Desa dan banyak lagi.

UU Desa adalah pintu Gerbang Kemerdekaan Desa, hampir seluruh penggiat Desa langsung memekikan salam MERDESA, Layaknya Desa merayakan sebuah kemenangan besar atas apa yang yang terus-menerus di perjuangkannya terhadap ketidakadilan sistemik yang berdampak pada ketertinggalan Desa dan ketergantungan Desa dalam berbagai aspek selama ini. Lahirnya UU Desa adalah harapan rakyat dan masyarakat desa sebagai momentum perubahan kehidupan dalam naungan NKRI.

Budiman Sudjatmiko, Anggota DPR-RI Komisi II, juga pimpinan pansus RUU Desa mengatakan UU Desa adalah Revolusi tanpa Darah. Tahun 2015 adalah awal momentum implementasi UU Desa sekaligus membangun harapan baru desa.

UU No 6 Tahun 2014 yang disahkan pada tanggal 15 januari 2014 diharapkan mampu menjawab permasalahan sinergitas tata kelola pembangunan desa dengan supra desa selama ini, sehingga dapat mensinergikan sejumlah prinsip keterpaduan misalnya perencanaan partisipatif desa, implementasi kegiatan berbasis desa, kolaborasi antar-desa dan upaya meningkatkan mekanisme akuntabilitas dan masyarakat diharapkan mengemban tanggung jawab dan kendali atas urusan desanya, dalam upaya pemenuhan kebutuhan pembangunan. Musyawarah Desa akan menjadi forum tertinggi dalam pengambilan keputusan, tentunya dengan keterwakilan dan partisipasi masyarakat desa yang luas untuk menjamin kualitas keputusan Musyawarah Desa.

Pendampingan Amanah UU Desa
Dalam hal Pendampingan UU Desa telah jelas menegaskan PEMBINAAN DAN PENGAWASAN BAB XIV sebagaimana pada UU No 6 Tahun 2014 pasal 112 sd 115 terutama pada Pasal 112 ayat 3 dan 4 yaitu sebagai berikut :

(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:

  • menerapkanhasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat guna, dan
  • temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
  • meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan
  • mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
(4) Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan Sehingga pemerintah berkewajiban untuk memberikan pendampingan kepada desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa, besarnya alokasi dana desa yang akan mengalir ke desa, melalui pendamping proses musyawarah desa membentuk RPJM (rencana pembangunan jangka menengah desa)/RKP (rencana kerja pemerintah desa), maka anggaran tersebut dapat dipergunakan secara tepat sasaran sesuai kebutuhan pembangunan desa.

Pemberdayaan dilakukan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa dan kawasan perdesaan. Pendampingan Masyarakat Desa sebagaimana dalam PP No 43 tahun 2014 diperjelas dan pertegas pada pasal 128-131 yaitu sebagai berikut :

Pasal 128
(1)Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat Desa dengan pendampingan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan.
(2)Pendampingan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak ketiga.
(3)Camat atau sebutan lain melakukan koordinasi pendampingan masyarakat Desa di wilayahnya.

Pasal 129
(1)Tenaga pendamping profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) terdiri atas:
a.pendamping Desa yang bertugas mendampingi Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, kerja sama Desa, pengembangan BUM Desa, dan pembangunan yang berskala lokal Desa;
b.pendamping teknis yang bertugas mendampingi Desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral; dan
c.tenaga ahli pemberdayaan masyarakat yang bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakatDesa.
(2)Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau teknik.

(3)Kader pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) berasal dari unsur masyarakat yang dipilih oleh Desa untuk menumbuhkan dan mengembangkan serta menggerakkan prakarsa, partisipasi, dan swadaya gotong royong.

Pasal 130
(1)Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dapat mengadakan sumber daya manusia pendamping untuk Desa melalui perjanjian kerja yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)Pemerintah Desa dapat mengadakan kader pemberdayaan masyarakat Desa melalui mekanisme musyawarah Desa untuk ditetapkan dengan surat keputusan kepala Desa.

Pasal 131
(1)Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional menetapkan pedoman pelaksanaan pembangunan Desa, pembangunan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pendampingan Desa sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2)Menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian teknis terkait dapat menetapkan pedoman pelaksanaan pembangunan Desa, pembangunan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pendampingan Desasesuai dengan kewenangannya setelah berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional
Sudah jelas bahwa pendampingan pada implementasi UU No 6 tahun 2014 merupakan keharusan dalam proses pemberdayaan masyarakat.

Pengalaman Baik dan Buruk Pendampingan PNPM Mandiri

Dalam praktek pendampingan selama 14 tahun pelaksanaan PPK/PNPM-MPd yang diadopsi dan tertuang dalam UU Desa ini. Salah satu Contoh tentang beberapa asas pengaturan desa di pasal 3 yang mirip dengan prinsip-prinsip PNPM Mandiri Perdesaan, juga tentang mekanisme musyawarah desa dalam pengambilan keputusan pada pasal 54 serta tentang kerjasama antar desa di pasal 92 yang secara explisit menyebutkan keberadaan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD), meskipun dalam kontek penataan kelembagaan dalam PNPM perlu pemahaman yang perlu dipahami dan kaji kembali, sehingga tidak menjadi kesalahan implementatif.

Dalam praktek pendampingan PNPM Mandiri telah mampu meminimalisir tingkat kebocoran dengan menekan kebocoran dana hingga dibawah 1 persen, PNPM telah bergulir untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan produktif hingga mencapai Rp 10 triliun. Demikian disampaikan Deputi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Wahnarno Hadi usai menjadi key note speaker dalam 'Desiminasi dan Lokarya Model Linkage Dana Amanah
Pemberdayaan Masyarakat (DAPM) PNPM Mandiri' di Jogjakarta Plaza Hotel, Selasa (4/11).
hal ini tentu menjadi pengalaman baik yang layak mendapat perhatian pemerintah tentang perlunya pendampingan . Merujuk Tulisan Rabiah Addawiyah di change.org pada Petisi “Selamatkan Dana Desa, Kawal Dengan SDM dan Kelembagaan PNPM”. Rabiah adawiyah sampaikan data IPPMI (Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia), PNPM secara kuantitatif hingga saat ini telah memberi manfaat bagi 13,3 juta Rumah Tangga Miskin (RTM), menyerap 11 juta tenaga kerja, dengan tingkat partisipasi mencapai 60% dan 48% diantaranya perempuan. Selain itu PNPM Mandiri telah meningkatkan modal sosial berupa gotong-royong dan swadaya baik di desa maupun kecamatan, mendorong efisiensi pelaksanaan kegiatan swakelola oleh kelompok masyarakat hingga mencapai 15-50%, membentuk aset-aset dana bergulir hingga 10 Triliun, dan aset fisik lainnya berupa 104,966 km panjang jalan, 8,532 jembatan, 6,756 irigasi, 103,026 sistem air bersih, dan 27,503 sekolah.
Nilai Ruhiyah UU Desa dalam pendampingan adalah perlunya transformasi paradigma pemberdayaan masyarakat dari Community Driven Development (CDD) yang bersifat apolitis menjadi Village Driven Development (VDD) yang bersifat politis, dimana desa ditempatkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat. Dalam melakukan peran dan fungsi dalam pelaksanaan UU Desa, fasilitator harus senantiasa melakukan refleksi total sebagai berikut :
·Meningkatkan kapasitas diri untuk mendampingi Desa dalam kerangka kerja VDD.
·Mampu berperan menjadi community organizer yang kreatif memfasilitasi Desa sehingga mendorong desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
·Mengubah mindset menjadi Pemberdaya Masyarakat yang Mandiri dan Berpikir Kritis-Kontekstual, merubah pemikiran dari pekerja proyek pemberdayaan menjadi pemberdaya masyarakat
Berikut ini kami sampaikan secara utuh paparan Ari Sujito Dosen UGM sekaligus peneliti senior IRE dalam kesempatan Dialog Nasional tanggal 20-21 Desember di Hotel Gren Alia yang di selenggarakan IPPMI, memaparkan perspektif pendampingan dan studi kritis pendampingan oleh fasilitator PNPM Mandiri selama ini. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sejauh pengamatan dan pengalaman praksis selama ini, peran pendamping, diantaranya para fasilitator begitu berarti dalam membantu agenda pemberdayaan, dengan segala masalah, pendekatan, proses dan hasilnya plus minus
Pelibatan mereka berangkat dari aktivis LSM, akademisi, pekerja sosial, maupun kelompok lain, paling tidak menstimulan gerak nadi komunitas; menyemai bibit keberdayaan sebagai pilar warga yang aktif dan kritis; berbagai kasus dan agenda lokal untuk beragam sektor terpecahkan
Misalnya fasilitator PNPM, kita akui telah menciptakan pendekatan baru mendorong partisipasi warga yang mengoreksi pendekatan lama; dapat dicatat misalnya, mengubah dominasi ruang dan akses elit lokal dalam keputusan pembangunan menuju --dalam beberapa hal-- penguatan partisipasi warga dalam membangun konsensus untuk perubahan kebijakan strategis lokal Akan tetapi, sayangnya, peran mereka (fasilitator PNPM) itu masih “terjebak dalam mainstream teknokratisasi dan rezim administratif” sehingga mengurangi bobot substansi peran pendampingan itu (ideologi emansipasi) secara praksis, kadang ini tidak disadari Diantara tantangan penting yang perlu dijawab oleh pendamping berkaitan UU Desa; menciptakan subjek aktif bagi warga komunitas, menjadi kunci kebangkitan warga. Subjek aktif berarti, bahwa pendampingan pada masyarakat dipahami sebagai kerja “sementara” sampai subjek yang didampangi mampu “dewasa” dan akfif mandiri; ukurannya kemampuan mentransformasikan kesadaran diri subjek secara kolektif. Cara pandang “dewasa dan aktif” tentu cara versi subjek yang didampingi, bukan fasilitator; kesadaran emansipatorik tumbuh berakar dari mereka dan organik

Desa-desa di Indonesia punya keragaman kapasitas, majemuk dari karakter, serta kondisi ekonomi politik yang menggambarkan “fragmentasi dan gap” satu sama lain. Ada desa-desa yang maju, mandiri dan kuat dalam proses pembangunan; namun masih banyak mengalami nasib “terbelakang” dan tidak berdaya, baik karena dampak kebijakan ekonomi politik (struktural), juga karena bersemayam akar kultural dalam rentang sejarah lama. Situasi inilah menjadi titik tolak perubahan pendampingan!

Pemahaman atas semua ini mendorong kita meyakini bahwa: tidak mungkin menggunakan pendekatan dalam pendampingan yang sama atau generik. Tetapi pendampingan adalah perspektif yang unik, kontekstual dan organik; tidak mungkin dibuat rumus tunggal dan umum. Pendampingan “perspektif organik” mengandung maksud, bahwa kemandirian desa akan tumbuh jika mereka diyakinkan kapasitas diri, dan aktor-aktor komunitas itulah yang bisa menjadi agen pendamping otentik. Cara pandang ini maknanya; masyarakat akan bangkit oleh dirinya; agen-agen di masyarakat akan mampu mendampingi dan mempengaruhi struktur sosial di komunitasnya masing-masing
Itulah pentingnya: spirit relawan warga yang ditransformasikan menjadi fasilitator dan pendamping warganya.
Pertanyaannya: bagaimana memulai agar agen, relawan dan fasilitator otentik lahir dan tumbuh secara organik dari komunitas?
Difinisikan ulang konsep kemandirian, subjek, orientasi, perspektif dan pendekatan yang bertumpu kekuatan lokal secara otentik. Desa harus dibebaskan dari politik dominasi negara, hegemoni pasar dan oligarkhi elit lokal komunitas sehingga mampu membaca dan menganalisis problem, kapasitas dan orientasi perubahan maka hindari jebakan kolonisasi pendampingan; mengubah pendekatan pendampingan “corak kimiawi menjadi organik”

Pendekatan ini butuh waktu, dalam konteks implementasi UU Desa, membutuhkan masa transisi menuju “pemberdayaan yang berakar dari dalam” dan stimulasi dari luar jangan sampai menjadi “racun baru” tetapi harus menjadi “vitamin alternatif”
Dalam jangka pendek debat soal ideologi yang diturunkan kedalam perspektif dan pendekatan pendampingan harus dilakukan; tidak sekadar “berkutat pada instrumental dan teknokrasi”. Fasilitator adalah subjek dalam pemberdayaan; namun pendampingan organik justru menempatkan masyarakat menjadi subjek kunci: MENGAKTIVASI kesadaran kritis secara otentik.

Penegasan Ari Sujito hendaknya menjadi refleksi total bagi fasiltator PNPM Mandiri saat ini, sehingga tidak terjebak sebagai pekerja proyek pemberdayaan di banding menjadi pemberdaya yang subtansi membangun kesadaran masyarakat.
Seorang Pendamping / Fasilitator harus memiliki kedaulatan pikir, sikap dan tindakan untuk mendorong proses proese pemberdayaan yang kreatif yang bertumpu pada kekuatan otentik lokalit demi terwujudnya desa berdaulat atas segala kedaulatanya untuk menjadi desa mandiri tanpa ketergantungan.

Pengalaman praktit PNPM yang terus berkutat pada instrumen administratif telah membelenggu kedaulatan fasilitator, sehingga bangunan kesatuan Nilai Teori dan Tindakan yang seharusnya di miliki pendamping dan kader-kader pemberdayaan akan memancarkan sikap positif dalam proses transformasi menuju impian desanya. Beberapa peyebab tidak berdaulatnya fasilitator adalah:
  1. Beban Administrastif yang di lahirkan dari instrumen kepentingan program.
  2. Proses Tata kelola antara peran manajemen fasiliatator dan peran fasilitator lapang yang
  3. Sikap-sikap anti pemberdayaan dan pemahaman pemberdayaan pada stakeholder terlibat dalam sistem program
Rekomendasi Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia
Hasil Rapat Kerja Nasional IPPMI tanggal 19-21 Desember 2014 IPPMI telah merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Kami akan aktif menyelenggarakan sosialisasi kepada para pihak dalam memperkuat peran, fungsi dan ideologi pemberdayaan.
  2. Kami akan Membangun kultur organisasi yang inklusif, progresive dan merekrut keanggotaan lebih luas di daerah,
  3. Kami akan mempercepat kerjasama dengan Asosiasi profesi fasilitator Masyarakat, lembaga pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga non pemerintah dan lembaga-lembaga donor yang terlibat pembangunan desa dalam mewujudkan gerakan desa mandiri,
  4. Kami akan meningkatkan kapasitas dan kemampuan anggota dalam hal regulasi, ekonomi, sistim informasi dan sosial politik desa dan perdesaan.
  5. Kami akan mendorong pelibatan seluruh anggota dan fasilitator pemberdayaan masyarakat untuk menjadi bahagian utama dalam pendampingan masyarakat desa tahun 2015.
  6. Kami akan membangun kemandirian pendanaan organisasi melalui penguatan organisasi dan kelembagaan usaha sosial melalui Koperasi nasional fasilitator dan badan usaha yang profesional berbadan hukum
  7. Kami akan melakukan advokasi bersama asosiasi fasilitator lainnya agar implementasi UU Desa dilakukan secara konsisten melalui Pendampingan yang memiliki Kompetensi, Penguatan kapasitas desa, Pengelolan Dana Desa yang terbuka, alokasi yang signifikan serta menghargai prinsip subsidiaritas dan rekognisi bagi desa.
  8. Kami akan mendorong peran daerah mendukung program gerakan desa mandiri melalui pendampingan, pembiayaan dan penguatan program desa dari sumber dana daerah dan APBD,
  9. Kami akan melakukan transformasi, revitalisasi dan penguatan atas tata aturan organisasi yang akan mempercepat terwujudnya misi dan agenda desa dan organisasi.
  10. Kami akan memfasilitasi pilot project untuk desa tangguh dan Lestari, desa cerdas, desa sehat, desa makmur, desa maju dan desa demokratis di setiap Daerah (DPD) dalam mewujudkan Gerakan Desa Mandiri,
  11. Kami akan aktif memastikan pendamping desa memiliki standar kompetensi, dilakukan berjenjang dan memiliki integritas dan komitmen diri dalam membangun desa,
  12. Kami akan Mendorong Pemerintah terutama Kementerian terkait untuk menyusun aturan turunan terkait UU Desa seperti: PP, Permen dan peraturan lain yang berpihak pada Desa dan regulasi perlindungan aset program pemberdayaan yang sudah dihasilkan,
  13. Untuk itu, Kami akan menyampaikan seluruh amanat tersebut kepada pemerintahan desa, pemerintah daerah, Kementerian Desa, Bappenas, Keuangan, Kemenko PMK, Kementerian-kementerian lain yang melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, Lembaga Donor, Sektor private, LSM dan pegiat pembangunan desa dan menjadi pedoman dalam gerakan organisasi selanjutnya.
Dalam rangka menindaklanjuti Rekomendasi tersebut diatas dan Mempertimbangkan kondisi dan situasi serta pertimbangan waktu yang sudah mendesak, dengan ini diperintahkan kepada seluruh Dewan Pengurus Nasional dan Dewan Pengurus Daerah untuk melaksanakan rekomendasi Komisi C Bidang Kebijakan Rapat Kerja Nasional IPPMI pada tanggal 19-21 Desember 2014:

1.Dewan Pengurus Nasional segera melakukan langkah-langkah advokasi dengan melakukan audiensi dan penyampaian rekomendasi IPPMI kepada:
a.Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;
b.Kementerian Desa;
c.Kementerian Dalam Negeri;
d.Kementerian PPN/Kepala BAPPENAS;
e.Kementerian Keuangan.
2.Dewan Pengurus Daerah segera melakukan langkah-langkah advokasi dengan memfasilitasi Kepala Daerah Kabupaten dan Provinsi untuk segera mengirimkan surat kepada Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri dengan substansi sesuai Rekomendasi Rakernas Komisi C Bidang Kebijakan.

Kesimpulan
Sebuah harapan besar dari sebuah regulasi yang berpihak kepada desa dan masyarakat desa untuk mendorong kesejahteraan desa, dan hendaknyalah diawali dengan pikiran posistif bagaimana kesejahteraan di bangun dan atau di dorong, dan jauhkan kepentingan bersifat proyek dalam membangun kesejahteraan desa, kita sepakat UU No 6 tahun 2014 tentang desa adalah resolusi total atas persoalan kemiskinan, reformasi birokrasi dan sinergitas pembangunan, sehingga tidak perlu lagi proyek-proyek sektoral dengan bersembunyi dalam pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, terlebih membebankan negara ini dalam beban utang luar negeri. Pemberdayaan Masyarakat adalah Gerakan bukan Proyek/Program.
Membangun Berdaulat dan Bermartabat dari Desa Hebat dan Berdaulat melalui Pendampingan berdaulat
MERDEKA !!!!! MERDEKA !!!!
# Dari Berbagai Referensi