Media Informasi Pemberdayaan

"PALITO PIAMAN"

MEDIA PNPM MANDIRI PERDESAAN KAB. PADANG PARIAMAN

"PALITO PIAMAN"

MEDIA PNPM MANDIRI PERDESAAN KAB. PADANG PARIAMAN

"PALITO PIAMAN"

MEDIA PNPM MANDIRI PERDESAAN KAB. PADANG PARIAMAN

Senin, 28 Oktober 2013

Jurus - Jurus Dalam Perencanaan Strategis

Jurus - Jurus Dalam Perencanaan Strategis

Perencanaan strategis hanya akan bermanfaat apabila melalui proses perencanaan strategis ini mampu membentuk kemampuan berfikir dan bertindak secara strategis bagi orang-orang penting pengambil keputusan dalam suatu organisasi.
Perencanaan strategis bukanlah tujuan dalam perencanaan strategis itu sendiri, karena perencanaan strategis hanyalah merupakan kumpulan konsep untuk membantu para pemimpin membuat keputusan penting dan melakukan tindakan penting bagi keberlangsungan dan kejayaan organisasi.
Delapan Jurus Dalam Perencanaan Strategis:

    Memprakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis;
    Mengidentifikasi mandat organisasi;
    Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi;
    Menilai lingkungan eksternal: peluang dan ancaman;
    Menilai lingkungan internal: kekuatan dan kelemahan;
    Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi;
    Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu;
    Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan.

Jurus 1: Memprakarsai dan menyepakati suatu Proses Perencanaan Strategis
Pada langkah ini merupakan langkah  menegosiasikan kesepakatan untuk menyelenggarakan perencanaan strategis dengan orang-orang penting pembuat keputusan (decision makers) atau pembentuk opini (opinions leaders) dan para stakeholder baik internal maupun eksternal. Dukungan dan komitmen mereka merupakan hal yang sangat penting jika perencanaan strategis ingin berhasil.  Keterlibatan orang-orang penting di luar organisasi adakalanya sangat krusial jika dalam implementasinya melibatkan banyak pihak di luar organisasi.
Dalam tahap inilah dibentuk kelompok pemrakarsa, yang salah satu tugasnya menetapkan secara tepat siapa saja yang tergolong orang-orang penting pembuat keputusan. Tugas berikutnya adalah menetapkan orang, kelompok, unit atau organisasi manakah yang harus dilibatkan dalam penyusunan perencanaan strategis ini.
Selanjutnya dalam kesepakatan ini harus mencakup: maksud upaya perencanaan; langkah-langkah yang dilalui dalam proses; bentuk dan jadwal pembuatan laporan; peran, fungsi dan keanggotaan suatu kelompok atau komite yang berwenang mengawasi upaya tersebut; peran, fungsi dan keanggotaan tim perencana strategis; dan komitmen sumber daya yang diperlukan bagi keberhasilan perencanaan strategis.
Jurus 2: Memperjelas Mandat Organisasi
Mandat formal dan mandat informal yang berada pada suatu organisasi merupakan keharusan yang dihadapi. Mandat formal adalah tugas dan fungsi dari suatu organisasi yang tercantum dalam undang-undang, peraturan-peraturan, piagam, pasal-pasal ataupun perjanjian-perjanjian yang mengikat dalam surat keputusan. Mandat informal adalah norma-norma yang menjadi pegangan beroperasinya organisasi yang tidak kalah mengikatnya.
Jurus 3: Memperjelas Misi dan Nilai-nilai
Misi organisasi, yang berkaitan erat dengan mandat yang harus dilaksanakan, merupakan deskripsi tentang apa-apa yang harus dilakukan dalam rangka mengemban mandat organisasi. Rumusan misi harus dapat menjawab enam pertanyaan:

    Siapakah kita ini sebagai organisasi (komunitas)?
    Secara umum, kebutuhan dasar sosial dan atau politik apa yang akan organisasi kita penuhi?
    Secara umum, bagaimana kita bekerja untuk mengantisipasi dan merespon kebutuhan-kebutuhan di atas?
    Bagaimana kita harus memberikan respon terhadap stakeholder kunci?
    Apa filosofi dan nilai-nilai inti kita? (menentukan integritas organisasi)
    Apa yang membuat organisasi kita unik/beda dengan organisasi yang lain?

Misi harus dirumuskan melalui diskusi yang panjang dengan melibatkan para stakeholder, sehingga diperoleh rumusan yang komprehensif. Nilai-nilai dimaksud dalam hal ini adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang serta dipelihara yang menjadi spirit organisasi dalam melaksanakan fungsinya, misal kejujuran, demokratis, keterbukaan/transparansi, tanggung jawab, dsb.
Jurus 4: Menilai Lingkungan Eksternal
Menilai lingkungan eksternal adalah tindakan mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengindetifikasi peluang dan ancaman. Lingkungan eksternal merupakan faktor-faktor yang diluar kontrol organisasi, meliputi kecenderungan politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi (PEST), kelompok masyarakat yang harus dilayani, dan pesaing (competitor). Anggota-anggota majelis sekolah yang berasal dari luar sekolah, misal asosiasi profesi, praktisi industri pada umumnya lebih tajam dalam menilai faktor eksternal.
Jurus 5: Minilai Lingkungan Internal
Menilai lingkungan internal adalah upaya mengenali kekuatan dan kelemahan yang ada dalam organisasi. Kita dapat mengenalinya dari sumber daya (inputs), strategi yang dijalankan sekarang (process), dan kinerja (outputs).
Jurus 6: Mengidentifikasi Isu Strategis
Mengidentifikasi isu merupakan langkah yang sangat penting guna mengetahui persoalan kritis yang sesungguhnya dihadapi organisasi. Dengan mempertimbangkan mandat, misi dan nilai, kekuatan dan kelemahan internal, peluang dan ancaman eksternal akan dapat kita identifikasi persoalan kritis organisasi. Pernyataan isu strategis harus mengandung tiga unsur: Pertama, isu harus disajikan dengan ringkas, cukup satu paragrap dan disajikan dalam kalimat tanya.  Kedua, faktor yang menyebabkan sesuatu isu menjadi persoalan kebijakan penting harus didaftar, yang mencakup aspek mandat, misi, nilai-nilai, kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman. Ketiga, konsekuensi kegagalan dalam menghadapi isu harus merupakan taruhan hidup dan matinya organisasi.
Ada tiga pendekatan dasar untuk mengenali isu strategis: pendekatan langsung (direct approach), pendekatan sasaran (goals approach) dan pendekatan visi keberhasilan (vision of success).
Pendekatan langsung, merupakan proses mengidentifikasi isu dengan cara meruntut dari uraian mandat, misi dan analisis SWOT, sehingga dirumuskan isu strategis organisasi. Pendekatan ini akan sangat baik apabila tidak ada kesepakatan sasaran sebelumnya, tidak ada visi keberhasilan dan tidak ada otoritas hirarkhi yang memaksakan sasaran. Pendekatan ini juga amat baik untuk menghadapi lingkungan yang sangat bergolak. Pendekatan sasaran, lebih sejalan dengan teori perencanaan konvensional, yang menetapkan bahwa organisasi harus menetapkan sasaran dan tujuan bagi dirinya, kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan visi keberhasilan, dalam pendekatan ini organisasi mengembangkan suatu gambar yang terbaik atau ideal mengenai dirinya sendiri di masa depan sebagai organisasi yang sangat berhasil mewujudkan misinya. Sehingga isu strategis sebagai diskripsi tentang bagaimana organisasi harus beralih dari jalannya sekarang, menuju bagaimana organisasi akan memandang dan berjalan sesuai dengan visinya.
Jurus 7: Merumuskan Strategi untuk Mengelola Isu-isu
Strategi didiefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut. Strategi dapat berbeda-beda karena kerangka tingkat, fungsi dan waktu.
Pengembangan strategi dimulai dengan identifikasi alternatif praktis, dan impian atau visi untuk memecahkan isu strategis. Selanjutnya, kita memerinci hambatan yang kemungkinan dihadapi untuk mencapai alternatif, impian atau visi tersebut. Setelah identifikasi alternatif, impian atau visi bersama-sama dengan hambatan tersusun, langkah berikutnya kita mengembangkan usulan pokok untuk mencapai alternatif, impian atau visi secara langsung atau tidak langsung dengan cara mengatasi hambatan. Setelah usulan utama diajukan, kemudian kita mengidentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan dalam dua hingga tiga atau empat/lima tahun mendatang. Terakhir kita menyusun program kerja yang terperinci untuk setiap tahunnya.
Strategi yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria: pertama, secara teknis strategi harus dapat bekerja (dilaksanakan) untuk menghadapi isu strategis; kedua, secara politis dapat diterima oleh para stakeholder kunci; dan ketiga, strategi harus menjadi etika, moral dan hukum organisasi.
Jurus 8: Menciptakan Visi Organisasi yang Efektif untuk Masa Depan
Langkah terakhir dalam proses perencanaan strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu sehingga berhasil mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya. Deskripsi inilah yang disebut “Visi Keberhasilan” organisasi.  Secara khusus yang termasuk dalam deskripsi ini adalah misi organisasi, strategi dasarnya, kriteria kinerjanya, beberapa aturan keputusan penting, dan standar etika yang diharapkan oleh seluruh pegawai.
Visi keberhasilan harus singkat – tidak lebih dari beberapa halaman – dan memberi ilham. Orang-orang diilhami oleh visi yang jelas dan kuat yang disampaikan dengan penuh keyakinan. Jadi, visi itu menfokus kepada masa depan yang lebih baik, mendorong harapan dan impian, menarik nilai-nilai umum, menyatakan hasil yang positif, menekankan kekuatan kelompok yang bersatu, mengemukakan entusiasme dan kegembiraan.

Kode Etik PNPM Vs Peraturan KPU

 Kode Etik PNPM Vs Peraturan KPU

Mantan Komisioner KPU menegaskan caleg yang berprofesi sebagai pengelola Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), baik itu PNPM Mandiri Perkotaan atau Pedesaan, harus mundur dari kepengurusan. Hal itu jika ingin melanjutkan diri dalam dunia politik atau menjadi caleg.
Jika tidak, maka sudah jelas melanggar kode etik (KE) yang sudah ditentukan sebagaimana syarat untuk menjadi pengurus atau pengelola PNPM. Dikatakan Juniarti, aturan itu pernah diterapkan dalam Pemilu 2009, dimana caleg yang sebelumnya menjadi pengelola PNPM harus menunjukan surat pemberhentian sebagai pengurus. Sebab jika tidak, maka mereka akan melanggar dan tidak mematuhi aturan persyaratan menjadi pengelola PNPM itu sendiri.
“Kalau aturan di KPU memang itu tidak ada yang menyebutkan harus mundur. Tapi itu sudah sangat jelas di aturan kepengurusan pengelola PNPM bahwa tidak boleh merangkap jabatan atau menjadi pengurus partai politik,’’.
Saat ini tugas penyelenggara pemilu sedang menelusuri dan bertindak tegas terhadap adanya pengurus PNPM yang ikut berpolitik. Sebab apa yang diterapkan atau dilakoni itu sudah jelas bahwa berkaitan dengan fasilitas negara. “Mereka itu akan mengelola uang negara, artinya mereka bisa saja memanfaatkan momentum itu untuk mencari massa atau dukungan. Ini juga tugas Panwaslu yang bertindak tegas,’’
Dan yang paling ditunggu adalah ketegasan dari pemangku kepetingan program PNPM saat ini yaitu Ditjend PMD, dimana Ditjend PMD harus berani mengambil keputusan untuk memerintahkan mundur dan atau memutus hubungan kerja terhadap pelaku PNPM yang terdaftar dalam DCT CALEG Tahun 2014. Yang saya khawatirkan dalam hal ini adalah bukan factor di tunggangi atau di tumpangi, melainkan menjaga independensi pelaku program PNPM dalam menjalankan kegiatan program tersebut. (by Opick)
referensi : https://www.google.com/search?q=Aturan+pelaku+Pnpm+tentang+berpolitik&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

Sabtu, 26 Oktober 2013

PELAKU UPK DAN PENLOK YANG BARU MELAKSANAKAN PELATIHAN GABUNGAN

Palito piaman, Program Nasional Pemberdayaan Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) Kabupaten Padang Pariaman Melaksanakan Pelatihan Gabungan untuk UPK (Unit Pengelola Kegiatan) PL UPK ( Pendamping Lokal Unit pengelola kegiatan ) dan PL ( Pendamping Lokal), selama 3 hari mulai dari  24 s/d 26 Oktober 2013 di Hotel Malindo Bukit Tinggi.

Pelatihan gabungan ini dikhusukan kepada Para pelaku,( UPK,PL UPK dan Pendamping Lokal)yang baru terpilih dimasing-masing kecamatan yang ada di kabupaten padang pariaman, dengan jumlah peserta 27 orang yang terdiri dari PL UPK 3 Orang,UPK 12 orang dan Pendamping Lokal 12 Orang, yang mana sumber alokasi dana untuk dari pelatihan ini dari DOK BLM dimasing-masing kecamatan

Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatan kapasitas pelaku yang ada dimasing-masing kecamatan sehingga bisa melaksanakan tugas yang embankan kepada pelaku tersebut sehingga tujuan dan sarasaran program dapat tercapai sebagai mana yang diharapkan dalam .

Agenda dan materi pelatihan ini disusun secara bersama-sama dalam Rakor FK/FT, sehingga apa kebutuhan dimasing-masing kecamatan bisa disenergikan dalam pelatihan ini dan narasumber pelatihan ini terdiri daris ebagian FK/FK yang ada dikabupaten Padang pariaman, FASKAB, FASKEU, Fastekab dan Asisten Faskab. (Erik E)

Jumat, 25 Oktober 2013

Setelah Penantian Panjang Akhirnya Dana DDUB dapat Direalisasikan

Palito Piaman, Dalam rangka pelaksanaan kegiatan PNPM-MPd Kab. Padang Pariaman TA 2013 yang telah memasuki tahap penyelesaian kegiatan, maka pada tanggal 25 oktober 2013, DDUB (Dana Daerah Urusan Bersama) atau yang lebih familiar disebut dana “cost sharing” masuk kerekening BPNPM Masing-masingKecamatan. Berdasarkan konfirmasi yang diperoleh dari beberapa kecamatan telah dipastikan bahwa dana DDUB yang dimaksud telah masuk ke rekening kolektif BLM yang dikelola oleh UPK. Jumlah alokasi DDUB tersebut sebesar 1,4 M meliputi 16 kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman.

Keterlambatan Masuk dana DDUB ini disebabkan karena pada penempatan rekening, yang mana awalnya dimasukan di rekening hibah dan seharusnya dimasukan pada rekenig bansos, setelah melalui proses yang panjang dan berliku-liku akhirnya dana DDUB tersebut bisa direalisasikan sehingga kabupaten padang pariaman selamat dari ancaman untuk dipertimbangkan keberlanjutannya pada program PNPM MPd  tahun 2014 sebagaimana surat Kementreian Dalam Negeri No.900/5912/PMD tertanggal 29 Agustus 2013

Seperti yang kita ketahui bersama Alokasi dana PNPM-MPd bersumber dari 2 kantong, kantong yang pertama dari APBN sebesar 95% sebesar Rp.28,025.000.000,-, dan alokasi ke-2 dari dana APBD sebesar 5% Sebesar 1.475.000.000,- Jumlah total dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat)  Rp. 29.500.000.000,-

Pada periode bulan September s/d oktober 2013 ini dana yang berasal dari APBN tahap-1 sebesar 40% telah dicairkan dan disalurkan ke masyarakat, sementara dana APBN tahap-2 sebesar 90% dari beberapa kecamatan juga telah dicairkan, dan bahkan disebagian besar kecamatan hanya menunggu Masuknya Dana DDUB tersebut dalam penyelesaian kegiatan tahun 2014 ini.

Dengan cairnya dana DDUB diharapkan pelaksanaan kegiatan tidak menemui kendala yang berkaitan dengan ketersediaan dana. Beberapa rekan fasilitator  dan UPK mengucapkan syukur atas hal ini dan mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi sehingga dana DDUB dapat dicairkan.dan himbauan dari Faskab PNPM-MPd Kabupaten Padang Pariaman agar kawan-kawan Fasilitator dan UPK dilapangan Agar segera mengejar progres dikecamatan masing-masing.



Erik Eksrada, S.Pd I

Minggu, 20 Oktober 2013

Game untuk Menghangatkan, Kerjasama dan Komunikasi

Game untuk Menghangatkan, Kerjasama dan Komunikasi
Posted on 19 Oktober 2013 by Erik Eksrada, S.PdI

1. Badai Berhembus (The Great Wind Blows)
Strategi ini merupakan icebreaker yang dibuat cepat yang membuat para peserta latihan bergerak tertawa. Strategi tersebut merupakan cara membangun team yang baik dan menjadikan para peserta lebih mengenal satu sama lain.
Langkah-langkah :
•    Aturlah kursi –kursi ke dalam sebuah lingkaran. Mintalah peserta untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
•    Jelaskan kepada peserta aturan permainan, untuk putaran pertama pemandu akan bertindak sebagai angin.
•    Pemandu sebagai angin akan mengatakan ‘ angin berhembus kepada yang memakai – misal : kacamata’ (apabila ada beberapa peserta memakai kacamata).
•    Peserta yang memakai kacamata harus berpindah tempat duduk, pemadu sebagai angin ikut berebut kursi.
•    Akan ada satu orang peserta yang tadi berebut kursi, tidak kebagian tempat duduk. Orang inilah yang menggantikan pemandu sebagai angin.
•    Lakukan putaran kedua, dan seterusnya. Setiap putaran yang bertindak sebagai angin harus mengatakan ‘angin berhembus kepada yang …………. (sesuai dengan karakteristik peserta, misal : baju biru, sepatu hitam, dsb)
============================
2. Lempar spidol
Permainan ini bertujuan untuk menghangatkan suasana dan menghilangkan kekakuan antar peserta dan pemandu dan antar peserta sendiri . Pelajaran yang bisa dipetik dari permainan ini adalah perlunya sikap hati–hati dan cepat tanggap.
Langkah–langkah :
•    Mintalah semua peserta berdiri bebas di depan tempat duduk masing-masing.
•    Minta peserta bertepuk tangan ketika Anda melemparkan spidol ke udara, dan pada saat spidol Anda tangkap lagi dengan tangan, semua peserta serta merta diminta berhenti bertepuk tangan. Ulangi sampai beberapa kali.
•    Ulangi proses ke-2 dengan tambahan selain bertepuk tangan juga bersenandung. ( bergumam ) : “Mmmmm….!”.
•    Ulangi proses ke–3 ini beberapa kali, dan setiap kali semakin cepat gerakannya, kemudian akhiri dengan satu anti klimaks: spidol Anda tidak dilambungkan, tapi hanya melambungkan tangan seperti akan melambungkannya ke atas (gerak tipu yang cepat !). amati : apakah peserta masih bertepuk tangan dan bergumam atau tidak ?
•    Mintalah tanggapan dan kesan, lalu diskusikan dan analisa bersama kemudian simpulkan.
============================
3. Sepatu Lapangan :
Permainan ini bermanfaat untuk mendorong proses kerjasama Tim, bahwa dalam sebuah Tim setiap orang akan belajar mendengar pendapat orang lain dan merekam masing-masing pendapat secara cermat dalam pikirannya, sebelum memutuskan pendapat apa yang terbaik menurut kelompok.
Langkah – langkah :
•    Bagilah peserta ke dalam kelompok – kelompok kecil ( 5 – 6 orang ), 1 orang akan menjadi pembicara kelompok.
•    Mintalah setiap kelompok untuk mendiskusikan tentang sepatu lapangan apa yang cocok untuk bekerja di ‘lapangan’ dan peralatan apa lagi yang dibutuhkan (waktunya sekitar 5 menit)
•    Mintalah pembicara kelompok untuk mengingat pendapat yang berbeda dan pendapat yang sama dari setiap orang di kelompoknya masing-masing.
•    Mintalah pembicara kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi ini seklaigus memperkenalkan nama anggota kelompoknya dan apa pendapat orang – orang tersebut mengenai topik diskusi di atas.
•    Setelah semua kelompok selesai, kemudian diskusikan : Apakah pembicara telah menyampaikan pendapat semua anggota kelompoknya secara tepat ? Apa yang dikurangi? Apa yang ditambah ? Apa yang tidak tepat.
============================
4. Kompak
Permainan ini bermanfaat untuk menghangatkan suasana dan membentuk suasana kerja dalam Tim.
Langkah–langkah :
•    Jelaskan kepada peserta aturan permainan ini
•    Bagilah peserta ke dalam 5 – 6 kelompok, yang penting satu kelompok terdiri dari 6 orang.
•    Mintalah masing – masing kelompok untuk membuat lingkaran dan satu orang anggota dari masing-masing kelompok untuk berdiri di tengah – tengah kelompoknya.
•    Katakana bahwa permainan ini untuk mnguji kita , apakah di antara teman-teman dalam kelompok itu saling percaya kepada TIM KERJA KITA. Yang berdiri di tengah harus menutup matanya, dengan ditutup kain, kemudian menjatuhkan diri secara bebas kea rah mana saja.
•    Sementara itu teman-teman dalam kelompoknya melingkar dan harus bertanggungjawab atas keselamatan teman yang di tengah tadi, karena permainan ini bisa – bisa akan memakan korban, maka jika yang di tenagh menjatuhkan diri kepadanya dia harus siap dan bertanggungjawab untuk menahan dan melemparkannya kepada teman yang lain. Begitu seterusnya, dan minta siapa yang di tengah bisa bicara dengan cara bergiliran .
============================
5. Bercermin
Langkah–langkah :
•    Minta setiap peserta untuk berpasangan, 1 orang menjadi bayangan di cermin dan 1 orang menjadi seseorang yang sedang berdandan di depan cermin.
•    Bayangan harus mengikuti gerak – gerik orang yang berdandan.
•    Keduanya harus bekerja sama agar bisa bergerak secara kompak dengan kecepatan yang sama.
•    Minta peserta untuk mendiskusikan apa pesan dalam permainan ini.

Jenis Pelatihan Untuk Pelaku KPMD

Jenis Pelatihan Untuk Pelaku KPMD
Creat : Erik Eksrada, S.PdI UPK. Kec. V Koto Timur


Pelatihan ini dilakukan kepada pelaku-pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di masyarakat sebagai bekal untuk menjalankan tugas-tugasnya. Pelatihan-pelatihan tersebut adalah sebagai berikut:

          Pelatihan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (KPM-D/K)

(a)       Pelatihan Pra Tugas
(i)       Tujuan:
Pelatihan bagi KPM-D/K dimaksudkan untuk memberikan pembekalan dan peningkatan kemampuan serta ketrampilan KPM-D/K dalam memfasilitasi masyarakat untuk mengelola PNPM Mandiri Perdesaan pada setiap tahapan. 
(ii)       Waktu dan peserta:
                                     7 (Tujuh) hari efektif
(iii)      Peserta
          Seluruh KPM-D/K sekecamatan

(iv)      Pemandu/ pelatih:
         Fasilitator Kecamatan dan PjOK dapat dibantu Fasilitator Kabupaten

(v)       Hasil yang diharapkan:
1)        KPM-D/K mengetahui dan memahami tentang latar belakang, tujuan, prinsip, kebijakan dan tahapan atau mekanisme PNPM Mandiri Perdesaan sebagai pengelolaan program pemberdayaan masyarakat yang integratif di tingkat desa.
2)        KPM-D/K memiliki visi sebagai kader pembaharu di masyarakat dan mengetahui serta memahami tugas & tanggungjawabnya.
3)        KPM-D/K menguasai teknik-teknik fasilitasi pertemuan-pertemuan masyarakat dalam tahapan kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan, termasuk perencanaan desa secara partisipatif dan teknik Menggagas Masa Depan Desa (MMDD) untuk penyusunan RPJMDes.
4)        KPM-D/K mempunyai ketrampilan memberikan pendampingan dan pembimbingan kepada masyarakat agar mampu mengelola PNPM Mandiri Perdesaan secara mandiri.
5)        KPM-D/K menguasai administrasi dan pelaporan yang diperlukan di tingkat desa/kelurahan.
6)        KPM-D/K mampu menyusun dan  mempunyai rencana kerja untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya.

(vi)      Materi Pelatihan
         Materi yang dibahas dalam pelatihan KPM-D/K paling tidak meliputi:
1)        Konsepsi PNPM Mandiri Perdesaan (latar belakang, tujuan, sasaran, prinsip, kebijakan dan tahapan PNPM Mandiri Perdesaan), sebagai proses pemberdayaan masyarakat (Sumber: Petunjuk Teknik Operasional/PTO).
2)        Tugas dan tanggung jawab KPM-D/K (Sumber: Penjelasan 5 PTO, tentang Tugas dan Tanggung jawab Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan).
3)        Pengetahuan dan ketrampilan sederhana yang berkaitan dengan teknis kegiatan a.l: Ekonomi, Kesehatan, Pendidikan, Peningkatan Ketrampilan,  dan sarana– prasarana (Sumber: Penjelasan 4 PTO, tentang jenis-jenis kegiatan). Bagi KPM-D/K yang akan bertanggung jawab terhadap hal teknis, akan diberi tambahan pelatihan khusus yang berkaitan dengan hal-hal teknis oleh FT- Kec  dibantu oleh FT - Kab.
4)        Teknik pendataan awal, termasuk pemetaan RTM secara partisipatif, data dasar dan profil desa. 
5)        Teknik fasilitasi dalam pertemuan-pertemuan masyarakat, termasuk perencanaan desa secara partisipatif (lihat Acuan teknik fasilitasi penggalian gagasan dan musyawarah khusus perempuan), dan fasilitasi MMDD untuk penyusunan RPJMDes.
6)        Teknik Fasilitasi proses PNPM Mandiri Perdesaan/ Cara pendampingan dan pembimbingan kepada masyarakat agar mampu mengelola PNPM Mandiri Perdesaan secara mandiri.
7)        Pengelolaan Administrasi, pengisian formulir kegiatan, pengelolaan keuangan dan evaluasi hasil. 
8)        Cara-cara pengawasan dan pengendalian kegiatan termasuk mekanisme penanganan pengaduan dan permasalahan serta penanganan konflik (Sumber: Penjelasan 7 PTO, tentang Pemantauan, evaluasi dan pelaporan, Penjelasan 8 PTO tentang Penanganan Pengaduan dan Masalah)
9)        Cara penyebarluasan informasi (Sumber; Penjelasan 1 PTO tentang sosialisasi)




Rabu, 02 Oktober 2013

KONSEP DASAR PNPM MANDIRI PERDESAAN

 KONSEP DASAR PNPM MANDIRI PERDESAAN
Posted by : Erik E.


Fenomena Kemiskinaan
Kemiskinan seolah menjadi momok yang terus membelenggu masyarakat sejak lama. Ada banyak faktor penyebab dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tingkat pendidikan yang rendah dan infrastruktur yang minim dikatakan memberi andil besar penyebab kemiskinan ini. Disisi lain potensi besar yang dimiliki oleh desa seolah belum belum cukup mengangkat kehidupan masyarakat dari lembah keterbasan. Dukungan fasilitas pendidikan dan layanan kesehatan yang terbatas menambah beban hidup masyarakat.
Fenomena kemiskinan ini oleh sebagian elemen masyarakat bahkan menjadikannya sebagai alasan untuk mengkritik pemerintah yang dikatakan seolah lalai, gagal atau apalah namanya. Tentu adalah sikap bijaksana atas kritikan tersebut tetapi tidak 100% juga kalau mengatakan pemerintah tidak peduli terhadap permasalahan ini.
Ada banyak program yang telah diluncurkan oleh pemerintah dalam menjawab permasalahan tersebut baik yang dikelola oleh lingkup departemen maupun program yang langsung pengelolaannya diserahkan kepada masyarkat dengan sistem swakelola.

Konsep PNPM Mandiri Perdesaan
Berangkat dari komplesitas permasalahan tersebut, Pemerintah telah menelurkan beragam program dimana salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan. PNPM MPd sebagai program pemberdayaan terbesar di Indonesia lahir atas dasar keprihatin atas masalah kemiskinan di Indonesia.
Semenjak diberlakukannya program PNPM Mandiri dari tahun 2003 yang dulunya bernama PPK yang kemudian diperluas menjadi PNPM secara nasional sejak tahun 2007 memiliki visi tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.

Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).


Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan

Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

Tujuan khususnya meliputi:
a. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan
b. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal
c. Mengembangkan kapasitas pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif
d. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat
e. Melembagakan pengelolaan dana bergulir
f. Mendorong terbentuk dan berkembangnya kerjasama antar desa
g. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan


Prinsip Dasar PNPM MPd
Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM Mandiri Perdesaan mempunyai prinsip atau nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya tujuan PNPM Mandiri Perdesaan. Prinsip-prinsip itu meliputi:
1. Bertumpu pada pembangunan manusia
2. Otonomi
3. Desentralisasi
4. Berorientasi pada masyarakat miskin
5. Partisipasi
6. Kesetaraan dan keadilan gender
7. Demokratis
8. Transparansi dan Akuntabel
9. Prioritas
10. Keberlanjutan

Ketentuan Dasar PNPM MPd

Kegiatan yang akan dibiayai melalui dana BLM diutamakan untuk kegiatan yang memenuhi kriteria:

a. Lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin atau rumah tangga miskin
b. Berdampak langsung dalam peningkatan kesejahteraan
c. Dapat dikerjakan oleh masyarakat
d. Didukung oleh sumber daya yang ada
e. Memiliki potensi berkembang dan berkelanjutan

Jenis-jenis kegiatan yang dibiayai melalui BLM PNPM Mandiri Perdesaan adalah sebagai berikut :
a. Kegiatan pembangunan atau perbaikan prasarana sarana dasar yang dapat memberikan manfaat jangka pendek maupun jangka panjang secara ekonomi bagi masyarakat miskin atau rumah tangga miskin
b. Kegiatan peningkatan bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk kegiatan pelatihan pengembangan ketrampilan masyarakat (pendidikan nonformal)
c. Kegiatan peningkatan kapasitas/ketrampilan kelompok usaha ekonomi terutama bagi kelompok usaha yang berkaitan dengan produksi berbasis sumber daya lokal (tidak termasuk penambahan modal)
d. Penambahan permodalan simpan pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP)
Satu hal yang penting adalah bahwa pelaksanaan kegiatan yang didanai melalui PNPM MPd harus didukung dengan swadaya sebagai wujud partisipasi dan kepedulian masyarakat atas pembangunan di desanya.

Pernak Penik Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyrakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Kabupaten Padang Pariaman

 Lima tahun sejak diluncurkan, pada 30 April 2007, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri  terus mendorong masyarakat untuk merealisasikan mimpi mereka. Program ini merupakan bagian utama dari usaha pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Sejak tahun 2007 program ini sudah berkembang pesat, dengan komponen terbesarnya yaitu PNPM Mandiri Perdesaan, yang diawali pada tahun 1998 dengan nama Program Pengembangan Kecamatan, Evaluasi dampak kualitatif menunjukkan bahwa melalui PNPM Mandiri, masyarakat semakin mampu untuk mendapatkan pangan yang lebih baik, bersekolah lebih lama, mendapatkan pekerjaan dan mendirikan usaha, menerima perawatan kesehatan, dan untuk berpartisipasi dalam forum politik lokal.berikut dokumentasi Pernak penik PNPM-Mandiri Pedesaan Dikabupaten Padang pariaman,yang mana terdiri dari 16 kecamat yang terdanai PNPM-MPd
1. Dokumentasi Kegiatan PNPM-MPd Kec. Sintoga

2. Dokumentasi Kegiatan PNPM-MPd Kec. V Koto Timur

3. Dokumentasi Kegiatan PNPM-MPd Kec. IV Koto Amal


4.Kegiatan PNPM-MPd Kec. VII Koto Sei. Sariak

5. Kegiatan PNPM-MPd Dikec. 2x11 Kayu Tanam

6. Kegiatan PNPM- Dikecamatan Batang anai

7. kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Batang Gasan

8. Kegiatan PNPM-MPd dikecamatan VI Lingkung

9. kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Sungai Geringging

10. kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Nan Sabaris

11. kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Padang Sago

12. kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Patamuan

13. Kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Sei. Limau

14. kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan Ulakan Tapakis

15. kegiatan PNPM-Dikecamatan 2x11 Enam Lingkung

16.Kegiatan PNPM-MPd Dikecamatan V Koto Kp. Dalam


"FASILITAS MERUPAKAN RACUN YANG TERSELUBUNG "

 FASILITAS MERUPAKAN RACUN YANG TERSELUBUNG
Posted by : Erik Eksrada, S.PdI Ket. UPK V Koto Timur

Kecenderungan kita sebagai manusia ini terkadang adalah mengejar sesuatu yang kita anggap sebagai sebuah kenikmatan. Kenikmatan itu umumnya yang berlaku adalah mempunyai fasilitas-fasilitas tertentu yang memudahkan hidup kita.

Berbagai cara dan upaya kita lakukan untuk mengejar yang bernama Fasilitas. Kita bekerja siang dan malam adalah sebuah dorongan agar kita memiliki fasilitas-fasilitas yang kita inginkan.

Dan rekayasa teknologi mutakhir saat ini, semuanya adalah penyedian fasilitas-fasilitas yang di “inginkan” oleh manusia. Saya sebut “di inginkan” karena memang banyak hal fasilitas itu di ciptakan bukan untuk memenuhi kebutuhan primer manusia, namun lebih banyak adalah untuk memenuhi “keinginan kita”. Dorongan-dorongan itu di pengaruhi dari iklan-iklan di televisi, dari tampilan produk yang menggoda hati, dari kecenderungan untuk pamer dan “gengsi”. Kita melangkahkan kaki ke toko-toko swalayan, supermarket, ke pasar dlsb, sejatinya bukanlah mengikuti kebutuhan kita namun di picu oleh dorongan keinginan kita.

Kita datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Niat awal sih hanya sekadar jalan-jalan, daripada sumpek dan suntuk di rumah. Sesampai di sana kita di tawari dengan beragam-ragam produk yang indah-indah dan memancing hasrat kita untuk melongoknya. Pertama hanya sekadar ingin tahu. Tahap selanjutnya kita di taburi rumbai-rumbai manis dari Sales dan karyawan garda depan produk itu. Menatap betapa imutnya para gadis-gadis SPG penawar produk itu. Dan secara tidak sadar, seperti terkena sihir, beberapa detik kemudian kita sudah mengeluarkan dompet untuk membelinya dan sesampai di rumah tidak tahu untuk apa kita membeli barang tersebut.

Itu sekadar sebuah anekdot. Namun juga mengandung rahasia hikmah yang bisa kita ambil. Bila kita kembangkan seberapa jujurkah anda membeli barang-barang lux di rumah anda?

**

Transformasi teknologi saat ini yang telah mencapai kemajuan yang sangat dimensional dan transisional karena telah mengubah cara pandang dan perilaku manusia modern. Teknologi Informasi yang alatnya adalah Internet telah menembus budaya, wilayah negara, sekat-sekat norma dan etika.  Internet yang semakin mudah di akses ke pedalaman-pedalaman Indonesia melalui HP, Tablet maupun laptop mengakibatkan percepatan pertukaran informasi yang luar biasa.

Dampaknya adalah kita menjadi kebanjiran teknologi baik produk fisik maupun layanan jasa informasi. Indonesia telah menjadi target pasar yang sangat potensial bagi para perusahaan asing untuk menangguk laba. Semua berlomba-lomba menyediakan teknologi yang membuat manusia indonesia  semakin lama semakin termanjakan dengan Fasilitas.

Ini bukan sekadar ungkapan sentimentil tentang efek kapitalisasi global yang menelurkan teknologi mutakhir dan juga bukan sebuah sikap pernyataan sikap yang tidak mendukung adanya pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tapi hanya sebuah wacana untuk sedikit menyadarkan bahwa terdapat racun terselubung dari teknologi. Fasilitas yang memudahkan kita itu ternyata membuat kita kehilangan kedaulatan terhadap diri kita sendiri.

Teknologi secara tidak sadar, lambat laun telah menjerat leher hidup kita dan menjadikan kita ketergantungan. Kita merasa rendah diri apabila tidak membawa HP, Tablet, Phablet merk terbaru. Kita merasa kecil hati dalam bergaul karena tidak membawa mobil BMW. Kita merasa malu dan inferior jika tidak menggunakan merk terkenal dan model yang terkini.

Teknologi telah menggantikan hubungan sosial kemasyarakatan dengan hanya menatap layar HP dan Internet. Kita cenderung lebih suka di depan layar HP dan Komputer daripada bergaul dengan tetangga. Kita merasa lebih nyaman untuk duduk di depan televisi dan menatap berita banjir daripada kita ikut berpartisipasi untuk meringankan bencana banjir. Tidak berlebihan kalau Einstein pernah berkata, “I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots.”

Dan puncaknya adalah kita menjadi konsumen dari sebuah rekayasa sihir Internasional yang menyisipkan pesan-pesan tersembunyi melalui kendaran informasi dan teknologi. Dan menjadikan kita manusia lemah dan tidak berdaya bila tidak ada teknologi. Tubuh kita merasa lebih sering sakit-sakitan. Kena angin sedikit sudah masuk angin, pilek. Penyakit lebih mudah menggerogoti badan kita. Tidak hanya penyakit jasmani saja, namun juga penyakit rohani. Stress, depresi, frustasi yang ujungnya adalah bunuh diri, pemerkosaan, korupsi, dan berjuta penyakit jiwa yang lainnya.

Kita lebih gampang uring-uringan apabila Internet di kantor rumah kita tutup. Kita menjadi mangkel apabila komputer kita rusak. Kita menjadi lebih frustasi saat BBM kita pending. Kita menjadi pemarah saat melihat anak-anak kita mengotori perabot rumah kita yang mewah.

Dan pada saat itu kita sudah sempurna untuk menyerahkan jiwa dan raga kita untuk di kuasai “anak buah Dajjal”.

PENDEKATAN PEKERJAAN SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYRAKAT MISKIN

PENDEKATAN PEKERJAAN SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN

Pekerjaan sosial merupakan aktivitas kemanusiaan yang sejak kelahirannya sekian abad yang lalu, telah memiliki perhatian yang mendalam pada pemberdayaan masyarakat miskin. Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ‘menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri’ (to help people to help themselves), ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination), ‘bekerja dengan masyarakat’ (working with people dan bukan ‘bekerja untuk masyarakat’ atau working for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat. Betapa pekerjaan sosial merupakan profesi yang populis dan tidak elitis.

KEMISKINAN
Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto, 2004:3).
Pengertian Kemiskinan
1.    Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002:3).
2.    Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).
3.    Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004).
4.    Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001).
5.    Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi:
a)    modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan),
b)    sumber keuangan (pekerjaan, kredit),
c)    organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial),
d)    jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa,
e)    pengetahuan dan keterampilan, dan
f)    informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).
Dimensi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena yang berwayuh wajah. David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:
Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi
Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.
Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk. Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)(Suharto, dkk, 2004:7-8).

PEMBERDAYAAN
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah.
Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal:
1.    Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.
2.    Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Pengertian dan Indikator Pemberdayaan
1.    Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995:56).
2.    Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987:xiii).
3.    Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984:3).
4.    Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya…Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya(Parsons,etal.,1994:106).
5.    Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk :
a)    memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan
b)    berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):
Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian
Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.
Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.
Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya
Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan
Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya. Mereka adalah kelompok yang pada umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:
Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.
Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari ‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai ‘deviant’ (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Menurut Berger dan Nenhaus dan Nisbet (Suharto, 1997), ‘struktur-struktur penghubung’ (mediating structures) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini cenderung melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperan sebagai struktur penghubung antara kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan (mesjid, gereja), dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberi dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya, cenderung semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, juga tidak jarang malah semakin meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Sennet dan Cabb (1972) dan Conway (1979) menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional (Suharto, 1997). Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai lemah, dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut keadaan ini dengan istilah ‘alienasi’. Sementara Seligman menyebutnya sebagai ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’ (learned helplessness), dan Learner menamakannya dengan istilah ‘ketidakberdayaan surplus’ (surplus powerlessness)(Suharto, 1997:212-213).
Learner lebih jauh menjelaskan konsep ‘pentidakberdayaan’ ini sebagai proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada. Sebagai contoh, para penerima Bantuan Sosial Keluarga (AFDC/Aid for Families with Dependent Children) merasa tidak berdaya untuk merubah program dan bentuk-bentuk pelayanan AFDC. Mereka memiliki persepsi bahwa dirinya tidak mampu, tidak berdaya, atau bahkan tidak berhak untuk merubah program-program tersebut. Menurut Kieffer (1984: 9), ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik.
Solomon (1979) melihat bahwa ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Menurutnya, ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negatif; interaksi negatif dengan lingkungan, atau berasal dari blokade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (Suharto, 1997:213-214):
1.    Penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan setara dalam masyarakat.
2.    Interaksi negatif dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negatif dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi sosial dimana mereka berada.
3.    Lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekpresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.
Dimensi Pemberdayaan
Kieffer (1981) mengemukakan tiga dimensi pemberdayaan:
1.    Kompetensi kerakyatan
2.    Kemampuan sosiopolitik
3.    Kompetensi partisipatif (Suharto, 1997:215)
Menurut Parsons et al (1994:106), pemberdayaan sedikitnya mencakup tiga dimensi:
1.    Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar
2.    Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
3.    Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et al., 1994:106).

PENDEKATAN PEMBERDAYAAN
Menurut Ife (1995: 61-64), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:
Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.
Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya.
Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.
Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.
Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa.
Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
Pendekatan
Pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melaui penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al., (1994: 112-113) menyatakan, bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu-lawan-satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan diri klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan.
Namun demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual; meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: mikro, mezzo, dan makro.
1.    Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach).
2.    Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3.    Pendekatan Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak.
Prinsip Pekerjaan Sosial
Pelaksanaan pendekatan di atas berpijak pada pedoman dan prinsip pekerjaan sosial. Menurut beberapa penulis, seperti Solomon (1976), Rappaport (1981, 1984), Pinderhughes (1983), Swift (1984), Swift & Levin (1987), Weick, Rapp, Sulivan dan Kisthardt (1989), terdapat beberapa prinsip dan asumsi pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial (Suharto, 1997:216-217).
Pemberdayaan adalah proses kolaboratif dengan mana masyarakat miskin  dan pekerja sosial bekerjasama sebagai partner Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat miskin sebagai kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan.
Masyarakat miskin harus melihat diri mereka sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan. Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat miskin.
Solusi-solusi, yang berasal dari situasi khusus, harus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut. Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan pengendalian seseorang. Masyarakat miskin harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan. Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif.
Proses pemberdayaan besifat dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif; permasalahan selalu memiliki beragam solusi Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal dan pembangunan ekonomi secara paralel.
Teknik
Dubois dan Miley (1992: 211) memberi beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat:
1.    Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati; (b) menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); (c) menghargai keberbedaan dan keunikan individu; (d) menekankan kerjasama klien (client partnerships).
2.    Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabat dan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga kerahasiaan klien.
3.    Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
4.    Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan; (c) penterjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.
Peran Pekerja Sosial
Schwartz (1961:157-158), mengemukakan 5 tugas yang harus dilaksanakan oleh pekerja sosial.
Mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat miskin mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka.
Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat banyak orang dan membuat frustrasi usaha-usaha orang untuk mengidentifikasi kepentingan mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh (significant others) terhadap mereka.
Memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki masyarakat miskin, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas sosial dan masalah yang dihadapi mereka.
Membagi visi kepada masyarakat miskin; harapan dan aspirasi pekerja sosial  merupakan investasi bagi interaksi antara orang dan masyarakat dan bagi kesejahteraan individu dan sosial.
Mendefinisikan syarat-syarat dan batasan-batasan situasi dengan mana sistem pekerja sosial dan masyarakat miskin dibentuk. Atururan-aturan tersebut membentuk konteks bagi ‘kontrak kerja’ yang mengikat masyarakat miskin dan lembaga. Batasan-batasan tersebut juga mampu menciptakan kondisi yang dapat membuat masyarakat miskin dan pekerja sosial menjalankan fungsinya masing-masing.
PENDAMPINGAN SOSIAL SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN
Bagi para pekerja sosial di lapangan, kegiatan pemberdayaan di atas dapat dilakukan melalui pendampingan sosial. Dua strategi utama dalam pendampingan sosial meliputi pelatihan dan advokasi atau pembelaan masyarakt miskin. Pelatihan dilakukan terutama untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemampuan masyarakat miskin mengenai hak dan kewajibannya serta meningkatkan keterampilan keluarga miskin dalam mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan advokasi adalah bentuk keberpihakan pekerja sosial terhadap kehidupan masyarakat miskin yang diekspresikan melalui serangkaian tindakan politis yang dilakukan secara terorganisir untuk mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan. Tujuan advokasi adalah untuk mencapai perubahan kebijakan tertentu yang bermanfaat bagi penduduk yang terlibat dalam proses tersebut. Advokasi yang efektif dilakukan sesuai dengan rencana stategis dan dalam kerangka waktu yang masuk akal.
Terdapat lima aspek penting yang dapat dilakukan dalam melakukan pendampingan sosial, khususnya melalui pelatihan dan advokasi terhadap masyarakat miskin.
1.    Motivasi. Keluarga miskin dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Rumah tangga miskin perlu didorong untuk membentuk kelompok yang merupakan mekanisme kelembagaan penting untuk mengorganisir dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat di desa atau kelurahannya. Kelompok ini kemudian dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri.
2.    Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan. Peningkatan kesadaran masyarakt dapat dicapai melalui pendidikan dasar, pemasyarakatan imunisasi dan sanitasi. Sedangkan keterampilan-keterampilan vokasional bisa dikembangkan melalui cara-cara partsipatif. Pengetahuan lokal yang biasanya diperoleh melalui pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Pelatihan semacam ini dapat membantu masyarakat miskin untuk menciptakan matapencaharian sendiri atau membantu meningkatkan keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar wilayahnya.
3.    Manajemen diri. Kelompok harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan, melakukan pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan tabungan dan kredit, resolusi konflik dan manajemen kepemilikan masyarakat. Pada tahap awal, pendamping dari luar dapat membantu mereka dalam mengembangkan sebuah sistem. Kelompok kemudian dapat diberi wewenang penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut.
4.    Mobilisasi sumber. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun sumber-sumber individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan menciptakan modal sosial. Ide ini didasari pandangan bahwa setiap orang memiliki sumbernya sendiri yang, jika dihimpun, dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan, pengalokasian dan penggunaan sumber perlu dilakukan secara cermat sehingga semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dapat menjamin kepemilikan dan pengelolaan secara berkelanjutan.
5.    Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat miskin.
Dalam kaitannya dengan masyarakat miskin, kelima aspek pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui lima strategi pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219):
1.    Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat miskin berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat miskin dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.
2.    Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat miskin yang menunjang kemandirian mereka.
3.    Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4.    Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat miskin agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.
5.    Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.