Media Informasi Pemberdayaan

Selasa, 06 September 2016

Pengadaan Barang/Jasa di Desa, Haruskah Swakelola?

Ringkasan: Pengadaan barang dan jasa di desa menjadi permasalahan yang cukup serius ketika muncul aturan mengenai pengadaan. Dalam kaitan ini, orang mempersepsikan bahwa UU Desa dan pengelolaan keuangan desa jika tidak diimbangi dengan kemampuan SDM yang handal di desa, justru akan menjadi bom waktu bagi desa, sehingga dikhawatrikan akan banyak terjerat kasus hukum. Dalam kaitan dengan pengadaan barang dan jasa, daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan tersendiri mengenai pengadaan barang/ jasa di desa dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perka LKPP no 13 tahun 2013 mengatur bahwa tata cara pengadaan barang/ jasa di desa yang pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diatur oleh bupati/walikota dengan tetap berpedoman pada Perka LKPP tersebut. Penulis: Jamila Lestyowati, Widyaiswara Madya Balai Diklat Keuangan Yogyakarta.

Pengadaan Barang/Jasa di Desa, Haruskah Swakelola?

Jamila Lestyowati

(Widyaiswara Madya Balai Diklat Keuangan Yogyakarta)

Abstrak

Pengadaan barang dan jasa di desa menjadi permasalahan yang cukup serius ketika muncul aturan mengenai pengadaan. Dalam kaitan ini, orang mempersepsikan bahwa UU Desa dan pengelolaan keuangan desa jika tidak diimbangi dengan kemampuan SDM yang handal di desa, justru akan menjadi bom waktu bagi desa, sehingga dikhawatrikan akan banyak terjerat kasus hukum. Dalam kaitan dengan pengadaan barang dan jasa, daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan tersendiri mengenai pengadaan barang/ jasa di desa dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perka LKPP no 13 tahun 2013 mengatur bahwa tata cara pengadaan barang/ jasa di desa yang pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diatur oleh bupati/walikota dengan tetap berpedoman pada Perka LKPP tersebut.

Kata Kunci : swakelola, desa, TPK, pengadaan barang/ jasa, Perka LKPP Nomor 13/2013, Perpres 54/ 2010

Pengantar

Saat ini terdapat kurang lebih 73.000 desa di Indonesia. Pada hakikatnya penduduk Indonesia tinggal di desa. Desa mendapat pengakuan yang tinggi dalam kedudukan dan pendanaannya. Terlebih setelah keluarnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Janji pemerintah “1 desa 1 milyar” mungkin akan menjadi kenyataan. Namun dari berita bagus ini, muncul satu permasalahan. Sebagian dari angka diatas pasti digunakan untuk pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan di desa. Nah, bagaimanakah tata cara pengadaan barang dan jasa di desa? Apakah harus mengikuti aturan yang ada di Perpres 54 tahun 2010? Apakah harus semuanya dilakukan dengan cara swakelola?

Desa dan Keuangan Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa memiliki kewenangan yang meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.

Sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum, desa -selayaknya negara- juga mengelola keuangan desa. Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Dalam mengelola keuangannya, desa memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) yaitu rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dan ditetapkan dengan peraturan desa.

Sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, alokasi anggaran dari APBN, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga. Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota kepada desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan pembangunan desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.

Bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (Alokasi Dana Desa). Anggaran yang bersumber dari APBN dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.

Pengadaan Barang/jasa di Desa

Berdasarkan Peraturan Kepala LKPP nomor 13 tahun 2013, Pengadaan barang dan jasa di desa yang pembiayaannya besumber dari APBDes tidak mengikuti aturan dalam Perpres 54 tahun 2010. Jika Perpres 54/2010 mengatakan bahwa pengadan barang dan jasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu melalui penyedia dan swakelola, maka pengadaan barang dan jasa di desa pada prinsipnya dilakukan secara swakelola dengan aturan sebagai berikut:

    memaksimalkan penggunaaan material/bahan dari wilayah setempat
    dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat
    untuk memperluas kesempatan kerja
    untuk pemberdayaan masyarakat setempat

Namun, ternyata tidak semua pengadaan barang/ jasa di desa dilaksanakan secara swakelola. Jika dalam proses pengadaan tersebut ada yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu.

Prinsip Pengadaan Barang/Jasa di Desa

Dibandingkan dengan perpres 54/2010, prinsip pengadaan barang/ jasa di desa sedikit berbeda. Hal ini tentu saja menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat di desa.

Berikut matrik perbandingan prinsip dasar pengadaan barang dan jasa berdasarkan Perpres 54 tahun 2010 dan Peraturan Kepala LKPP nomor 13 tahun 2013

Perpres 54/ 2010 Peraturan Kepala LKPP nomor 13/2013  

  Sedangkan etika dalam pengadaan barang/jasa desa adalah:
  •     bertanggung jawab
  •     mencegah kebocoran dan pemborosan keuangan desa
  •     patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan

 Jika dalam pengadan barang/jasa secara umum memerlukan ULP/Pejabat pengadaan, maka khusus untuk pengadaan barang/ jasa di desa memerlukan Tim Pengelola Kegiatan (TPK) yaitu tim yang ditetapkan oleh Kepala Desa dengan surat keputusan, terdiri dari unsur pemerintah desa dan unsur lembaga kemasyarakatan desa untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa. TPK inilah yang akan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa melalui swakelola, yang meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertangungjawaban hasil pekerjaan.

Walaupun secara garis besar PBJ desa dilaksanakan dengan swakelola, namun jika dalam kegaian tersebut membutuhkan material dan peralatan yang mendukung pelaksanaan swakelola atau untuk memenuhi kebutuhan barang/ jasa secara langsung, maka tetap harus menggunakan penyedia.

Misalnya: kegiatan membangun gorong-gorong di lingkungan desa. Kegiatan membangun gorong-gorongnya itu adalah swakelola, namun dalam pengadaan material, tukang batu, tukang kayu tetap memerlukan penyedia.

Berdasarkan cerita orang tua penulis yang pernah menjadi bagian dari kegiatan pengadaan barang/ jasa di desa, ada proses lelang ketika menentukan penyedia (toko yang akan menyediakan bahan material). Walaupun beberapa pekerjaan dilakukan dengan cara gotong royong, namun tetap ada tukang yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan tidak menyalahi prinsip dasar PBJ desa, mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan. Banyak sekali kegiatan pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Kegaitan pembangunan ini yang diterjemahkan melalui kegiatan pengadaan.

Walaupun tidak ada PPK atau ULP, namun tugas-tugas pengadaan dilaksanaan oleh TPK. Tugas TPK dalam proses pengadaan antara lain :

    menyusun RAB
    menyusun spesifikasi teknis barang/jasa jika diperlukan
    melaksanakan pembelian / pengadaan
    memeriksa penawaran
    melakukan negosiasi (tawar menawar)
    menandatangani surat perjanjian (ketua TPK)
    melakukan perubahan ruang lingkup pekerjaan
    melaporkan kemajuan pelaksanaan pengadaan kepada kepala desa
    menyerahkan hasil pekerjaan setelah selesai 100% kepada kepala desa

Pelaksanaan Pengadaan

Pengadaan barang/jasa melalui swakelola dilakukan oleh TPK. Khusus untuk konstruksi, maka dipilih salah satu anggota TPK sebagai penanggung jawab teknis pelaksanaan pekerjaan yang dianggap mampu dan mengetahui teknis pekerjaan. Untuk pengadaan barang/jasa melalui penyedia, ketentuan yang berlaku sebagai berikut:

a. Pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp 50.000.000,00.

TPK membeli barang/jasa kepada satu penyedia tanpa permintaan penawaran tertulis dari TPK dan tanpa penawaran tertulis dari penyedia. TPK kemudian melakukan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah dan akhirnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK

b. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00.

TPK membeli barang/jasa kepada satu penyedia dengan cara meminta penawaran tertulis dari penyedia dilampiri dengan daftar barang/jasa. Penyedia menyampaian penawaran tertulis yang berisi daftar barang/jasa. TPK kemudian melakukan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah dan akhirnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK

c. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp 200.000.000,00.

TPK mengundang dan meminta dua penawaran tertulis dari dua penyedia yang berbeda dilampiri dengan daftar barang/jasa dan spesifikasi teknisnya. Penyedia menyampaikan penawaran tertulis berisi daftar barang/jasa dan harga. TPK menilai spesifikasi teknis dari kedua calon penyedia tersebut. Jika keduanya memenuhi spesifikasi teknis, maka dilakukan tawar menawar secara bersamaan.

Namun jika hanya satu yang memenuhi spesifikasi teknis, dilanjutkan dengan tawar menawar kepada penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut. Namun jika keduanya tidak memenuhi spesifikasi teknis, maka proses akan diulang dari awal. Hasil negosiasi tersebut dituangkan dalam surat perjanjian.

Peraturan Yang Berlaku

Pengadaan barang/jasa di desa tidak harus tunduk kepada peraturan LKPP diatas. Justru setiap daerah memiliki kekhususan dan situasi yang berbeda sehingga tidak bisa dipukul rata aturan mainnya, baik itu prosedur, batasan nilai, metode pemilihan penyedia (jika menggunakan metode ini).

Setiap kabupaten/ kota diharuskan untuk membuat aturan tersendiri tentang pengadaan barang/jasa di daerahnya. Peraturan Kepala LKPP adalah pedoman umum dan bupati atau walikota dapat membuat sendiri aturan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun beberapa aturan kepala daerah yang penulis temui, subtansinya sama dengan aturan kepala LKPP tersebut. Misalnya :

    Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 5 tahun 2014 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/ Jasa di Desa, tanggal 26 Februari 2014. Substansinya sama dengan peraturan LKPP namun ditambahkan contoh penawaran pengadaan barang/jasa yang dibuat oleh TPK kepada penyedia, contoh penawaran yang dibuat oleh penyedia barang/ jasa, contoh Berita Acara Negosiasi/ klarifikasi, contoh surat perjanjian kerja sama antara TPK dan penyedia barang/ jasa
    Peraturan Bupati Badung Nomor 40 tahun 2014 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/ Jasa di Desa, tanggal 10 Juli 2014. Substansinya sama dengan peraturan LKPP
    Peraturan Bupati Karangasem Nomor 57 tahun 2014, tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa yang Pembiayaannya Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, tanggal 31 Desember 2014. Substansi sama dengan Peraturan Kepala LKPP diatas. Sudah lebih lengkap dengan ditambahkan pasal-pasal yang lebih banyak, misalnya pasal tentang serah terima pekerjaan, sanksi, pengawasan dan pengendalian.

Penutup

Pengadaan barang/jasa di desa perlu diatur dengan aturan yang mendetail, mengingat aturan itulah yang akan dipakai oleh segenap pelaku pengadaan di desa. Termasuk contoh formulir-formulir dan berkas yang akan digunakan. Hal ini akan menimbulkan kepastian sehingga tidak banyak pertanyaan.

Kesimpulannya, pengadaan barang/ jasa di desa dapat dilaksanakan lebih fleksibel dibandingkan dengan pengadaan pada umumnya. Dengan semangat gotong royong dan kekeluargaan, pengadaan dapat dilaksanakan secara swakelola. Namun tetap dimungkinkan untuk hal-hal tertentu tetap memerlukan penyedia barang/jasa. Pengadaan hebat, desa kuat !

Jamila Lestyowati

Widyaiswara Madya Balai Diklat Keuangan Yogyakarta

Daftar Pustaka :

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa

Perpres 54 /2010 jo Perpres 70/2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peraturan Kepala (Perka) LKPP Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.

Sumber : Bppk.Kemenkeu.go.id