Media Informasi Pemberdayaan

Rabu, 01 Mei 2013

PNPM : MAMBANGUN MANUSIA DAN BUKAN MANUSIA MEMBANGUN

PNPM : MAMBANGUN MANUSIA DAN BUKAN MANUSIA MEMBANGUN

Selama beberapa tahun PNPM-MPd  di luncurkan dikabupaten Padang Pariaman  tah
Kelanjutannya menjadi stigma negatif sehingga ketika di setiap musyawarah prioritas usulan, bukan mengacu kepada kebutuhan yang mendesak namun di pilih karena di taksir dapat menyerap dana PNPM yang besar. Fenomena tersebut menyebabkan efek domino, yaitu salah satunya adalah “Bagito”—- Bagi Rato yang artinya dana PNPM di bagi sedemikian rupa agar setiap desa mendapatkan. Sehingga mengakibatkan esensi proses pemberdayaan terkadang hanya menjadi formalitas belaka.
 Ini terjadi dimungkinkan dari banyak faktor yaitu tidak utuhnya sosialiasi program oleh pelaku kepada masyarakat luas, kurangnya atensi masyarakat terhadap pembangunan di desanya,  dominansi elit desa, kultur egosentrisme desa, sifat serakah, persepsi yang salah terhadap program pemerintah, budaya kapitalisme yang sudah merongrong hingga ke setiap tubuh masyarakat desa, lunturnya etos gotong-royong komunal yang di imbangi dengan kecenderungan budaya individualistis, dan macam sebagainya. Terkadang lebih parah lagi telah di tumpangi dengan kepentingan politis bagi sebagian kalangan. Bahkan program pun juga memiliki andil dengan membludaknya administrasi yang terkadang tidak “manusiawi”  serta di tambah dengan berbagai program tambahan yang mau tidak mau mengurangi fokus pemberdayaan.
Dari latar belakang itu, tidak aneh apabila dalam setiap pemeringkatan usulan selalu di dominasi oleh usulan sarana prasarana. Sedangkan untuk jenis usulan peningkatan kapasitas masyarakat seperti pelatihan biasanya hanya di gunakan sebagai “penggembira” dan prosentasenya juga sangat rendah.

un 2007—yang embrionya sudah ada sejak tahun 98— bahwa tujuan PNPM seringkali masih tidak dipahami secara utuh khususnya bagi masyarakat perdesaan. Mereka membayangkan bahwa PNPM adalah sejenis proyek yang jatuh dari langit sebagaimana program pemerintah yang lain yang terkadang di asumsikan dapat di gunakan “se-enaknya sendiri” tanpa pertanggungjawaban yang transparan.  di orientasikan untuk bagaimana mencetak keuntungan setinggi-tingginya. Tidak sedikit yang mengatakan dengan nada minor “ah, ini kan uang pemerintah yang dihibahkan”.(Erik E)